Pengadilan Agama Sidoarjo dan Polresta Sidoarjo Diduga Abaikan Kasus Manipulasi Data Waris



SIDOARJO – Dugaan manipulasi data terkait penetapan ahli waris di Pengadilan Agama (PA) Sidoarjo menjadi sorotan setelah Abdul Chadis, warga Desa Banjarkemantren, Kecamatan Buduran, melaporkan kasus tersebut ke Polresta Sidoarjo. Laporan ini mencakup dugaan pemalsuan data surat penetapan waris dan surat kematian, yang melibatkan keluarga Maksum Aliman (Alm) dan Badriyah (Alm).

Abdul Chadis mengungkapkan bahwa pada 23 Mei 2019, PA Sidoarjo menerbitkan surat penetapan waris dengan nomor 0232/Pdt.P/2019/PA atas nama Badriyah (Alm) dan empat anaknya (Ma'rufah, Mariyam, Khoirum Basri, dan Khoirul Anam). Namun, proses penerbitan surat tersebut diduga tidak sesuai prosedur hukum. Desa Dukun Tengah, yang seharusnya menerbitkan surat keterangan waris sebelum pengajuan ke PA, mengonfirmasi bahwa mereka tidak pernah mengeluarkan dokumen tersebut.

"Kami tidak pernah mengeluarkan dokumen surat keterangan waris dari Maksum (Alm)," ungkap Kepala Desa Dukun Tengah, Chusnul.

Berikut bunyi poin kelima dari pernyataan M dalam surat permohonannya. "Bahwa Badriyah (Alm), istri kedua Ma'sum (Alm) meninggal dunia pada tanggal 22 April 2019 sebagaimana disebutkan dalam surat kematian yang diterbitkan oleh kepala desa Dukuh Tengah Kec Buduran dengan nomor: 474/08/438.7.3.12/2019, tertanggal 22 April 2019. Dan sebelumnya, Julaikah (Alm) anak dari Ma'sum (Alm) meninggal dunia lebih dahulu pada tanggal 16 Maret 1993 sebagaimana disebutkan dalam surat kematian yang diterbitkan oleh kepala desa Dukuh Tengah dengan nomor: 474/13/438.7.3.12.2018 tertanggal 19 April 2018. Dengan demikian maka yang hidup saat ini adalah anak-anak dari Badriyah sebagai ahli waris dan anak-anak dari Julaikah (Alm) sebagai penerima hak waris dari ahli waris." Namun, ketika dikonfirmasi di pengadilan, permohonan tersebut telah dicabut, akan tetapi untuk permohonan penetapan warisnya dikabulkan oleh Pengadilan Agama Sidoarjo.

"Dalam surat gugatan mereka menyebutkan nomer surat kematian ibu kami Julaikah (Alm). Dari sinilah kami mengetahui kalau mereka sudah diduga memalsukan beberapa dokumen-dokumen yang dimaksud. Termasuk terbitnya surat penetapan waris dari PA Sidoarjo," ujar Imam, salah seorang menantu Julaikah (Alm).

Semua pihak terlapor pernah menggugat pembagian waris, terhadap keluarga saudaranya isteri Imam, namun gugatan mereka tidak dikabulkan oleh PA Sidoarjo.

Abdul Chadis resmi melaporkan dugaan penyimpangan ini pada 1 Maret 2023. Ia menerima Surat Perintah Penyelidikan (SP2HP) pertama pada 10 Juli 2023 dengan nomor Sprin-Sidik/1283/VII/Res.1.24/2023/Satreskrim dan SP2HP kedua pada 27 November 2023 dengan nomor Sprin-Lidik/2025/XI/Res.124/2023/Satreskrim. Namun, hingga kini, penyelidikan kasus tersebut tampaknya jalan di tempat.

Imam lantas menyoroti lambatnya proses penanganan kasus ini. Selama lebih dari setahun, sejumlah saksi seperti Sekretaris Desa Dukuh Tengah Risaul Asegaf, dan Kepala Desa Dukuh Tengah Chusnul sudah dimintai keterangan. Namun, dari keempat anak Badriah selaku terlapor, hanya satu yg sudah dimintai keterangan oleh penyidik, yg lainnya belum dipanggil/dimintai keterangan.
Imam kemudian bertanya-tanya, "Kenapa sejauh ini pihak pemdes yang mengeluarkan surat kematian almarhum Ibu Djulaikah belum dipanggil, ini patut dipertanyakan ada apa?"

Mandeknya penanganan kasus ini memunculkan indikasi adanya pelanggaran administrasi atau bahkan dugaan tindak pidana. Imam menyoroti bahwa keterlambatan ini tidak hanya melanggar hak-hak warga tetapi juga bertentangan dengan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pengadilan Agama, sebagai lembaga yang berwenang, juga diharapkan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika terbukti ada unsur kesengajaan dalam menghambat proses hukum, hal ini dapat dikategorikan sebagai obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 221 dan 421 KUHP.

Selain itu, penyidik disorot sebab dalam kurun waktu hampir 2 tahun, pelapor masih memerima dua kali SP2PH yang seharusnya menerima minimal 1 bulan sekali atau 3 bulan sekali. "SP2HP kedua dan terakhir kami  terima pada tanggal 27 November 2023, dan sekarang sudah bulan Desember 2024 belum diterbitkan SP2HP lagi. Artinya sudah setahun belum dikirim SP2HP lagi, kinerjanya para penyidik patut dipertanyakan," ungkap Imam.

Padahal terdapat aturannya dalam pemberian SP2HP, berdasarkan laman polri.go.id, waktu pemberian SP2HP pada tingkat penyidikan untuk kasus ringan, diberikan pada hari ke-10, 20 dan 30. Kasus sedang diberikan pada hari ke-15, 30, 45 dan 60. Kasus sulit diberikan pada hari ke-15, 30, 45, 60, 75 dan 90. Kasus sangat sulit diberikan pada hari 20, 40, 60, 80, 100 dan 120.

Pelapor berhak mengetahui perkembangan kasusnya sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf a Perkap Nomor 21 Tahun 2011 dan penyidik wajib memberikan informasi perkembangan penyidikan sesuai Pasal 12 huruf c Perkap Nomor 16 Tahun 2010. Apabila penyidik menolak memberikan SP2HP, pelapor dapat melaporkannya kepada atasan penyidik dan apabila atasan penyidik tidak mengindahkan laporan, pelapor dapat melaporkannya ke Divisi Propam Kepolisian Daerah.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url